Seperti yang tercantum dalam Q.S. Al-Kafirun 1:6
(١)الْكَافِرُونَ أَيُّهَا يَا قُلْ
(٢)تَعْبُدُونَ مَا أَعْبُدُ لا
(٣)أَعْبُدُ مَا عَابِدُونَ أَنْتُمْ وَلا
(٤)عَبَدْتُمْ مَا عَابِدٌ أَنَا وَلا
(٥)أَعْبُدُ مَا عَابِدُونَ أَنْتُمْ وَلا
(٦)دِينِ وَلِيَ دِينُكُمْ لَكُمْ
Artinya :
1. Katakanlah:
"Hai orang-orang kafir”.
2. Aku
tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.
3. Dan
kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.
4. Dan
aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah,
5. Dan
kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.
6. Untukmu
agamamu, dan untukku agamaku."
Kesimpulan :
1. Surat
ini sebagai jawaban Nabi Muhammad SAW atas usulan para petinggi kafir Quraisy,
yakni :
Walid al
Mughirah, Aswad bin Abdul Muthallib, dan Umayyah bin Khalaf yang menawarkan
kompromi menyangkut pelaksanaan ajaran agama secara bersama-sama. Usulnya, agar
Nabi Muhammad SAW bersama umatnya mengikuti kepercayaan mereka dan mereka pun
akan mengikuti ajaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW.
“Selama setahun
kami akan menyembah Tuhanmu dan selama setahun juga kamu harus menyembah Tuhan
kami. Bila agamamu benar, kami mendapatkan keuntungan karena bisa menyembah
Tuhanmu dan jika agama kami benar, kamu pun memperoleh keuntungan”.
Mendengar saran
tersebut, Nabi SAW menjawab dengan tegas,
“Aku berlindung
kepada Allah dari perbuatan menyekutukan-Nya”.
Lalu beliau
membacakan surat Al-Kafirun.
2. Ayat
ini menegaskan sikap toleransi dengan jelas, bahwa Islam mengharamkan umatnya
mencampuradukan keimanan dan ibadah ritual Islam dengan agama mana pun, apapun
alasannya. Kita sering terperangkap dalam jebakan “toleransi antar umat
beragama”, yang diartikan dengan mencampuradukan agama. Bila kaum Nasrani Natalan,
kita pun dianjurkan untuk mengikutinya. Padahal sikap ini merupakan pengkhianatan
terhadap agama kita, atau sebaliknya kita mengizinkan orang non-muslim
mengikuti ibadah ritual Islam, berarti menyuruh mereka mengkhianati
keimanannya. Makna toleransi yang sebenarnya bukanlah mencampuradukan keyakinan
dan ibadah ritual Islam dengan agama non-muslim, tetapi menghargai eksistensi
agama orang lain. Kita tidak dilarang melakukan kerja sama dengan non-muslim
dalam hal-hal yang berkaitan dengan urusan dunia seperti hubungan bisnis,
studi, bahkan ada ayat yang memerintahkan agar kita berlaku adil kepada
siapapun, termasuk kepada non-muslim.
“Hai orang-orang
yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran
karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap
suatu kaum, mendorong kamu untuk tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena
adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Q.S. Al-Maidah 5:8)
Jadi, saat
interaksi dengan non-muslim, prinsip-prinsip toleransi, keadilan, dan kebenaran
harus kita tegakkan. Namun, untuk urusan yang berkaitan dengan keyakinan dan
peribadatan, kita harus mengambil garis yang tegas dan jelas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar