Selasa, 10 Desember 2013

TOLERANSI DALAM MASALAH KEIMANAN DAN PERIBADAHAN

Seperti yang tercantum dalam Q.S. Al-Kafirun 1:6
(١)الْكَافِرُونَ أَيُّهَا يَا قُلْ
(٢)تَعْبُدُونَ مَا أَعْبُدُ لا
(٣)أَعْبُدُ مَا عَابِدُونَ أَنْتُمْ وَلا
(٤)عَبَدْتُمْ مَا عَابِدٌ أَنَا وَلا
(٥)أَعْبُدُ مَا عَابِدُونَ أَنْتُمْ وَلا
(٦)دِينِ وَلِيَ دِينُكُمْ لَكُمْ
Artinya :
1.      Katakanlah: "Hai orang-orang kafir”.
2.      Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.
3.      Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.
4.      Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah,
5.      Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.
6.      Untukmu agamamu, dan untukku agamaku."
Kesimpulan :
1.    Surat ini sebagai jawaban Nabi Muhammad SAW atas usulan para petinggi kafir Quraisy, yakni :
Walid al Mughirah, Aswad bin Abdul Muthallib, dan Umayyah bin Khalaf yang menawarkan kompromi menyangkut pelaksanaan ajaran agama secara bersama-sama. Usulnya, agar Nabi Muhammad SAW bersama umatnya mengikuti kepercayaan mereka dan mereka pun akan mengikuti ajaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW.
“Selama setahun kami akan menyembah Tuhanmu dan selama setahun juga kamu harus menyembah Tuhan kami. Bila agamamu benar, kami mendapatkan keuntungan karena bisa menyembah Tuhanmu dan jika agama kami benar, kamu pun memperoleh keuntungan”.
Mendengar saran tersebut, Nabi SAW menjawab dengan tegas,
“Aku berlindung kepada Allah dari perbuatan menyekutukan-Nya”.
Lalu beliau membacakan surat Al-Kafirun.

2.    Ayat ini menegaskan sikap toleransi dengan jelas, bahwa Islam mengharamkan umatnya mencampuradukan keimanan dan ibadah ritual Islam dengan agama mana pun, apapun alasannya. Kita sering terperangkap dalam jebakan “toleransi antar umat beragama”, yang diartikan dengan mencampuradukan agama. Bila kaum Nasrani Natalan, kita pun dianjurkan untuk mengikutinya. Padahal sikap ini merupakan pengkhianatan terhadap agama kita, atau sebaliknya kita mengizinkan orang non-muslim mengikuti ibadah ritual Islam, berarti menyuruh mereka mengkhianati keimanannya. Makna toleransi yang sebenarnya bukanlah mencampuradukan keyakinan dan ibadah ritual Islam dengan agama non-muslim, tetapi menghargai eksistensi agama orang lain. Kita tidak dilarang melakukan kerja sama dengan non-muslim dalam hal-hal yang berkaitan dengan urusan dunia seperti hubungan bisnis, studi, bahkan ada ayat yang memerintahkan agar kita berlaku adil kepada siapapun, termasuk kepada non-muslim.
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Q.S. Al-Maidah 5:8)

Jadi, saat interaksi dengan non-muslim, prinsip-prinsip toleransi, keadilan, dan kebenaran harus kita tegakkan. Namun, untuk urusan yang berkaitan dengan keyakinan dan peribadatan, kita harus mengambil garis yang tegas dan jelas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar